Piket
Jumat Shift Pagi
Artikel
Jumat, 24 April 2020
Jeritan Karyawan Gaji Dipotong 50% Hingga Terancam PHK
Soraya Novika – detikFinance
Jakarta - Virus Corona tidak hanya memberi
dampak pada masyarakat lapis bawah yang mulai kehilangan pendapatan hingga
pekerjaannya. Perlahan tapi pasti, dampak Corona menjalar pada masyarakat lapis
menengah.
Ratih, bukan nama sebenarnya, bekerja di
salah satu perusahaan ritel ternama di Jakarta. Ia adalah salah satu orang yang
merasakan pedihnya dampak Corona.
Ia bercerita, perusahaan secara bertahap
melakukan penyesuaian atas berkembangnya virus ini. Awalnya, pada Maret jumlah
hari kerjanya dipotong sehari dengan konsekuensi pengurangan gaji.
"Kami dikasih peraturan satu hari
tiap minggu tidak masuk kerja, dengan dipotong gaji," jelasnya kepada
detikcom, Kamis (16/4/2020).
Kebijakan pengurangan hari kerja pun terus
bertambah. Hingga puncaknya saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dengan PSBB, mulai pekan depan jumlah hari
kerjanya dipangkas hingga separuhnya. Lagi-lagi, gajinya pun ikut terpengaruh
yang mana gaji juga dipangkas sampai separuh alias 50%.
Tunjangan hari raya (THR) pun entah
bagaimana nasibnya. Ia tak tahu apakah akan diberikan untuk tahun ini atau
tidak.
Namun, ada yang lebih miris. Pengurangan
jam kerja itu tidak disampaikan melalui surat resmi, hanya sebatas broadcast
via WhatsApp.
Protes pun sangat susah dilakukan oleh
Ratih. Dia bahkan mendapat informasi, karyawan yang protes malah terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK).
Saat seperti ini, ia pun mengharap uluran
tangan dari pemerintah. Sayangnya, dia melihat kebijakan pemerintah justru
berat sebelah hanya melihat masyarakat lapisan bawah termasuk pengemudi ojek
online (ojol).
Padahal, masyarakat seperti Ratih juga
perlu mendapat bantuan sehingga tidak jatuh dalam jurang kemiskinan. Ia pun
berharap agar pemerintah memberikan perhatian juga pada masyarakat lapisan
menengah seperti dirinya.
Apakah ada bantuan dari pemerintah?
Pemerintah sudah menyiapkan berbagai
stimulus ekonomi demi menangani krisis akibat virus Corona (COVID-19) di
Indonesia. Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang tak merasakan
bantuan-bantuan yang disiapkan tersebut. Terutama masyarakat kalangan menengah
yang dianggap cukup mampu bertahan di tengah himpitan COVID-19. Padahal banyak
juga masyarakat kelas menengah yang gajinya dipotong, namun tetap memiliki
kewajiban dan kebutuhan yang wajib dibiayai.
Bantuan pemerintah dianggap berat sebelah
dan dianggap tak merata kepada seluruh masyarakat. Lalu, apakah memang benar
bantuan pemerintah selama ini masih kurang memadai dan kurang tepat sasaran?
Menurut Ekonom dari Institute for
Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara memang
bantuan yang digelontorkan pemerintah saat ini masih terlalu kecil. Sehingga,
tentu tidak bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Terbatas hanya untuk
mereka yang memang sudah terkategori miskin.
"Jumlah stimulus khususnya untuk
pekerja itu terlalu kecil. Dari total Rp 405 triliun dan Rp 110 triliun bantuan
sosial, sebagian besar hanya menyentuh masyarakat yang memang sebelumnya sudah
masuk kategori miskin," kata Bhima kepada detikcom.
Padahal, banyak masyarakat yang menjadi
korban PHK atau yang dipotong gajinya oleh perusahan tergolong masyarakat
menengah, yang jelas-jelas tak bakal kebagian program bantuan sosial itu.
Meskipun pemerintah telah menyiapkan program Kartu Pra Kerja untuk korban PHK
dianggap sudah terlambat.
"Agak terlambat pemerintah melakukan
permintaan data korban PHK ke perusahaan, baru akhir Maret lalu,"
sambungnya.
Selain itu, meski sebenarnya pemerintah
telah mengantisipasi nasib pekerja lewat insentif kepada perusahaan, hal itu
justru tak memadai. Sebab terkesan berat sebelah kepada perusahaan tapi tak
menjamin nasib pekerja di sana. Pekerja tetap menjadi korban.
"Kemudian ada keberpihakan yang
timpang antara korporasi dan pekerja yang di PHK. Pengusaha kakap akan
mendapatkan banyak keuntungan salah satunya insentif penurunan PPh Badan
bertahap hingga 17%, sementara tidak tercantum solusi untuk korban PHK, kecuali
kartu pra kerja yang juga sama sekali tidak tepat sasaran," tutupnya.
Tanggapan
1
Kami setuju dengan pernyataan di artikel
tersebut. Bahwa saat kebijakan kebijakan seperti lockdown atau setidaknya PSBB
diberlakukan, pemerintah juga harus siap untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan
dasar masyarakatnya baik kelas menengah ataupun kelas bawah yg terdampak.
Kebijakan lockdown memang mengakibatkan menurunnya kegiatan ekonomi semua
lapisan masyarakat. Masyarakat kelas menengah pun juga perlu perhatian dari
pemerintah, mungkin masyarakat kelas atas masih bisa mengatasi kebutuhan
hidupnya dengan baik, namun masyarakat kelas menengah yang terkena PHK mungkin
hanya sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tabungan yang dimilikinya,
seperti pengalaman dari kakak saya.
Selain itu kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah mengenai pemberlakuan PSBB bukan memberlakukan lockdown, bisa
dilihat dari artikel berita tersebut bahwa PSBB saja sudah membawa banyak
sekali permasalahan perekonomian baru apalagi jika pemerintah memberlakukan
lockdown bisa dipastikan bahwa perekonomian Indonesia akan lumpuh total. Dalam
pemberlakuan PSBB pemerintah mungkin belum siap sepenuhnya, bisa dilihat
kebijakan yang dilakukan masih belum membawa keadilan bagi rakyatnya. Padahal
dalam keadaan saat ini yang terkena dampak dari pelemahan perekonomian akibat
dari Covid-19 ini bukan hanya kepada golongan rakyat perekonomian menengah
kebawah tapi juga menengah keatas, namun sasaran kebijakan pemerintah hanya
pada rakyat menengah kebawah seperti. Saya menyarankan bahwa untuk meratakan
keadilan dalam kebijakan pemerintah ini, pemerintah perlu memangkas pengeluaran
negara yang tidak terlalu penting misalnya anggaran belanja pegawai untuk
dialokasikan kepada kebijakan PSBB ini dan juga untuk tenaga medis dalam
menangani penyebaran covid-19.
Feedback
Pemerintah apakah sudah benar
memberlakukan kebijakan PSBB? Dan ya memang benar semua masyarakat di lapisan
strata sosial/ekonomi sangat merasakan dampak begitu besar akibat pandemi ini.
Namun, apabila pemerintah memangkas pengeluaran negara, apakah proporsi
pemangkasan tersebut memungkinkan untuk "mencukupi" kebutuhan rakyat
indonesia dalam penanganan pandemi? Tidak kah ini justru lebih memperburuk
perekonomian negara sendiri?
Tanggapan
2
Kebijakan pemerintah dalam melakukan PSBB
dengan memangkas pengeluaran negara itu jauh lebih baik daripada pemerintah
melakukan pencetakan uang secara besar-besaran atau melakukan utang kepada luar
negeri untuk menangani permasalahan yang timbul dari penyebaran covid-19 saat
ini, dampaknya jauh lebih memperburuk keadaan perekonomian Indonesia sebab akan
terjadi inflasi dan jika melakukan utang luar negeri akan terbebani pada bunga dan
nilai tukar rupiah yang saat ini makin melemah. Pemangkasan pengeluaran negara
hanya diberlakukan sementara dan menurut
saya itu adalah opsi terbaik yang sudah dilakukan oleh pemerintah.
Pemangakasan pengeluaran negara untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat itu dilakukan dengan memangkas kebutuhan
kebutuhan yg tidak terlalu penting saat ini.Nah, agar pemenuhan kebutuhan itu
tidak memperburuk perekonomian negara, penyaluran bantuan tersebut harus dan
wajib tepat sasaran.. Jika dalam penyaluran tersebut terjadi penyalahgunaan
atau sebagainya, maka bantuan tersebut justru hanya membuang sumber daya yg
ada.
Tidak ada kebijakan yang sepenuhnya baik
ataupun sebaliknya dalam menangani kondisi saat ini. Kebijakan yang diambil
adalah keputusan baik diantara yang buruk. Pemangkasan pengeluaran ini
dilakukan pemerintah untuk menghadapi kondisi perekonomian yang darurat akibat
covid19. Kebijakan ini diambil untuk menyejahterakan kehidupan seluruh rakyat
Indonesia. Selain bersifat sementara, pemangkasan ini harus dilakukan pada
pengeluaran yang tidak terlalu penting, karena pemangkasan anggaran yang
terjadi ditakutkan akan memberikan sinyal buruk ke pasar dan investor sehingga
nantinya akan berimbas ke roda perekonomian negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar